TEWENEWS,Muara Teweh – Pembangunan jembatan penyeberangan yang menghubungkan Kota Muara Teweh dan Kelurahan Jingah di Kabupaten Barito Utara Kalimantan Tengah , kembali jadi sorotan.Bila sebelumnya sorotan terkait durasi pekerjaan, kali ini soal kumuhnya lingkungan taman kota Water Front City (WFC), selama pekerjaan proyek berlangsung.
“Kami tidak mengerti sistem pekerjaan proyek ini. Hanya yang pasti, semenjak pekerjaan proyek berlangsung, genangan air kotor terdapat dibeberapa tempat,” kata Yanto, warga Muara Teweh, Kamis (22/03/2018).
Kotoran dimaksud, menggenangi ruas jalan di lokasi proyek. Dikawatirkan kotoran bercampur air lumpur itu merusak kendaraan dan juga berpotensi mengganggu kesehatan.Sebab air lumpur yang menggenangi pinggiran beberapa ruas jalan di pinggir kota Muara Teweh itu, juga bercampur dengan material semen.
Ironisnya, kotoran mencampuri genangan air diakibatkan para pekerja membersihkan alat berat pengaduk semen justru dipinggir jalan di lokasi proyek.”Kami tidak habis pikir, para pekerja seperti cuek dengan kondisi kotor dipinggir ruas jalan lokasi proyek. Padahal ruas jalan ramai lalulalang kendaraan,” tegas Yanto.
Selain mengeluhkan adanya genangan air bercampur material semen di lingkungan pekerjaan jembatan WFC, warga juga protes mobiliasai alat berat pengaduk semen.Menurut warga alat berat itu sangat menganggu pengguna jalan, sebab setiap harinya tampak bebas lalulalang di ruas jalan dalam Kota Muara Teweh menuju lokasi proyek.
“Seharusnya alat berat stanby dilokasi pengerjaan proyek. Ini sangat menganggu, juga membahayakan pengguna jalan” ungkap Barudin,warga Muara Teweh lainnya
Seperti diketahui,kini loksai Water Front City (WFC) nyaris berubah kumuh, semenjak pelaksanaan proyek jembatan penyeberangan di genjot pekerjaannya.Jembatan itu sendiri rencananya berfungsi untuk memudahkan warga dari kecamatan Teweh Tengah bepergian ke Kelurahan Jingah dan Kelurahan Jambu,masih dalam lingkungan Kota Muara Teweh.
Selain itu,keberadaan jembatan itu nantinya diyakini sebagai obyek wisata baru bagi masyarakat setempat. Proyek ini sendiri,dikerjakan sistem kontrak tahun jamak.
Beberapa waktu lalu anggota DPRD Barut,Tajeri mempertanyakan durasi waktu pekerjaan proyek. Sebab menurutnya, pelaksanaan proyek seharusnya berakhir akhir Desember 2017 lalu.”Toleransi masa pekerjaan proyek bisa mencapai 50 hari. Artinya Januari sampai Februari sudah selesai pekerjaan. Ini sudah Maret 2018, tapi proyek masih belum selesai,” ungkap Tajeri, Selasa (13/3).
Menurutnya, kalau memang pelaksanaan proyek telah berahir, seharusnya pekerjaan dihentikan.Dimana akan dilanjutkan pemeriksaan oleh tim.”Tim ini yang menilai berapa perhitungan yang harus di bayarkan dan sisanya akan menjadi SILPA atau sisa pengunaan anggaran di APBD 2018,” tegas Tajeri.(sagi)